Pontianak, Infokalimantan – Masjid Jami Sultan Syarif Abdurrahman merupakan salah satu bangunan bersejarah yang memikat para wisatawan yang berkunjung ke Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Masjid ini memiliki arsitektur yang menarik, kokoh dan pernak-pernik bangunannya diwarnai pengaruh beragam budaya.
Masjid ini adalah peninggalan Kesultanan Kadriah Pontianak. Memiliki enam pilar utama berdiameter 60 sentimeter yang kokoh. Konon, menurut cerita yang berkembang, siapapun yang berhasil memeluk tiang penyangga bangunan masjid ini maka akan terkabul doanya.
“Mitosnya jika bisa memeluk tiang nanti doanya akan terkabul. Tetapi secara logika, kalau bisa memeluk tiang besar ini artinya orang tersebut luar biasa hebatnya. Sampai sekarang juga belum ada yang bisa memeluknya. Bahkan orang dari luar negeri yang memiliki badan besar,” ujar Pengurus Masjid Jami Syarif Abdurrahman, Abdul Hamid Adam, belum lama ini.
Hamid menerangkan, enam pilar utama masjid ini dibangun sebagai tiang pancang, ditanam sedalam 20 meter bersama dengan 14 tiang yang mengelilinginya. Pilar tersebut berwarna hitam dan terbuat dari kayu belian.
Ia menjelaskan, enam pilar ini merepresentasikan rukun iman. Sementara lima tiang pancang di sisi kiri kanan yang melambangkan Rukun Islam, dan empat tiang pancang di depan dan belakang melambangkan Khulafaur Rasyidin.
Sekilas. enam pilar ini terlihat mudah untuk dipeluk. Namun, ketika mendekat dan mencoba memeluknya, tangan tidak akan bisa bertemu satu dengan lainnya.
“Hal inilah yang menjadi daya pikat wisatawan untuk mengunjungi masjid, serta ingin mencoba memeluk pilar tersebut. Wisatawan dari luar negeri seperti Brunei Darussalam dan Malaysia, biasa mencobanya,” kata Hamid.
Masjid Masjid Sultan Syarif Abdurrahman mulai dibangun pada 23 Oktober 1771 oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie (1771-1808), Sultan pertama Kesultanan Kadriah, sebagai penanda berdirinya Kota Pontianak di simpang tiga Sungai Kapuas dan Landak.
Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie sendiri merupakan anak ulama Sayid Husein Alkadrie yang berasal dari Yaman. Ia menikah dengan Utin Candramidi, putri Opu Daeng Manambon yang merupakan Raja Mempawah. Oleh mertuanya ini diberi amanah untuk membangun daerah baru sekaligus menyebarkan agama Islam.
Sultan Syarif Abdurrahman dalam misinya membuka dan membangun daerah baru membawa 14 kapal berisi rombongan dari Kerajaan Mempawah. Dalam perjalanan ia sempat berhenti di daerah Peniti, tetapi mendapat firasat bahwa tempat tersebut tidak cocok dijadikan pusat kota.
Lalu, rombongan menyusuri Sungai Kapuas dan berhenti di daerah Batu Layang. Di sana melihat banyak burung pemakan bangkai dan memutuskan bahwa daerah tersebut lebih cocok sebagai pemakaman sehingga mengamanatkan bahwa ia dan keturunannya harus dimakamkan di sana.
Kemudian, rombongan melanjutkan perjalanan dan berhenti di persimpangan Sungai Kapuas dan Landak. Di situlah mendapatkan petunjuk melalui mimpi bahwa daerah tersebut cocok dijadikan sebagai pusat kota karena letaknya strategis.
“Setelah mendapatkan mimpi itu, beliau bersama rombongannya mulai menebang pohon dan semak di tempat ini selama 8 hari untuk dijadikan pemukiman. Lalu, mulai membangun masjid di dekat muara ini pada 23 Oktober 1771 dan selesai setelah 2 tahun,” ungkap Hamid.